Selasa, 02 Februari 2010

Godaan Kehidupan dan Kekuasaan

30 Maret 2006 12:29:05
Oleh: KH.A. Mustofa Bisri

Entah kebetulan entah sejak dalam ‘skenario’ memang harus demikian. Seperti sudah sama-sama kita ketahui, mula-mula Allah mengumumkan akan menciptakan manusia yang akan dijadikan khalifah, penguasa, di bumi.

Setelah Adam, Bapak manusia, benar-benar tercipta, Allah menyuruh sekalian hamba di langit menyembahnya, menghormatinya. Semuanya pun taat melaksanakan perintah Allah, menyembah Adam, kecuali sang angkuh iblis. Akibat keangkuhannya, Iblis menerima hukuman abadi. Dan karenanya lalu dendam kepada Adam yang dianggapnya penyebab keterhukumannya. Adam, sang khalifah, pun kemudian digodanya. Dengan apa sang khalifah ini digoda?

Oleh Iblis, Adam digoda agar mendurhakai Tuhannya yang telah dengan kasih sayangmencipta dan mengangkatnya sebagai khalifah, dengan iming-iming kehidupan dan kekuasaan yang kekal. (Baca Q.s. 20:120). Dan Adam tergoda. Memakan ‘buah’ yang dipercayainya – akibat bujukan Iblis – dapat membuatnya hidup dan berkuasa selama-lamanya. Inilah dosa awal manusia.

Maka herankah kita apabila anak-cucu Adam, terutama yang terlalu menyadari kekhalifahannya, begitu gampang tergoda oleh kehidupan dan kekuasaan? Bahkan sepertinya keinginan hidup dan berkuasa terus, merupakan benih yang menyatu dan lahir bersama manusia, sampai dia menyadari kehambaannya. Jangan-jangan tangisan dan jeritan bayi saat lahir ke dunia, juga sebenarnya merupakan ungkapan belaka dari keinginan hidup dan berkuasa itu.

Lihatlah, bayi – seperti menyadari kehidupan dan kekuasaannya – begitu tak peduli terhadap sekelilingnya. Yang penting semua keinginannya terpenuhi. Setiap kali dia ‘menunjukkan kekuasaannya’ dengan senjata yang cukup ampuh: menangis! Lalu lambat laun meningkat, dari sekedar menangis ke memukul-mukul atau bahkan merusak. Sampai sang orang tua pun menyadari kekuasaan mereka sendiri. Atau kesadaran akan kekuasaan mereka sendiri melebihi toleransinya terhadap ‘kekuasaan’ anak mereka. Dan, anda tahu, seringkali ‘kesadaran’ ini berlanjut terus hingga si anak sudah menjadi dewasa.

Adalah wajar seorang kernet yang tawadhu memendam cita-cita suatu saat bisa menjadi seperti bosnya: sopir. Karena, dimatanya, sopir berpeluang hidup lebih langgeng dan begitu berkuasa dikendaraannya dan di jalanan. Sopir, meskipun misalnya berperawakan kecil mungil, begitu mengemudikan kendaraannya, serasa diri sebesar kendaraannya itu. Jika kemudian cita-cita sang kernet kesampaian, benar-benar menjadi sopir, apa yang terjadi?

Sang kernet yang tawadhu pun tiba-tiba berubah. Ketika mengemudikan bus, misalnya, maka mobil-mobil kecil atau apalagi kendaraan seperti sepeda, harus menyingkir dari hadapannya, kalau tidak ingin dia libas. Dia sekarang adalah khalifah di jalan. Kendaraan-kendaraan kecil itu bisa apa, penumpang-penumpang bus bisa apa? Begitulah; maqam sopir ternyata dapat dengan mudah mengubah perangai dan sikap sang mantan kernet.

Barangkali anak Anda – atau Anda sendiri – sejak masih sekolah, sudah memimpikan kelak akan menjadi dokter yang bisa hidup dan menguasai para pasiennya. Atau insinyur yang bisa hidup dan menguasai para staf dan tukang-tukang. Atau kiai yang hidup dan menguasai para santrinya. Atau malah bupati yang sangat hidup dan menjadi penguasa tunggal di kabupatennya. Mungkin juga, mula-mula tak tersirat hal-hal seperti itu dalam impian Anda, namun kemudian ‘bawaan’ dan godaan bertemu dalam perjalanan hidup, dan yang terlihat pun hanyalah kehidupan dan kekuasaan yang kekal itu.

Namanya saja fana; mana ada kehidupan kekal di dunia ini? Mana ada kekuasaan tanpa akhir? Mana ada bayi abadi?mana ada sopir seumur hidup? Mana ada jabatan tidak mengalami pensiun dan dipensiunkan. Kehidupan dan kekuasaan yang kekal itu hanyalah bualan iblis.

Namun seringkali, terutama ketika kita masih sangat hidup dan berkuasa, melalui kehidupan dan kekuasaan kita itu, iblis terus menina-bobokkab kita hingga kita menjadi lupa.

Maka, Anda yang sedang menikmati hidup dan membanggakan kekuasaan – sebesar atau sekecil apa pun – kiranya patut mencatat syair Arab ini di hati Anda:

Idzaa hamalta ilal qubuuri janaazatan
Fa’lam biannaka ba’daha mahmuulu
Wa idzaa wuliita umuura qaumin saa’atan
Fa’lam biannakan ba’daha ma’zuulu
(Bila suatu ketika kau memikul keranda ke kubur
Ingatlah bahwa sesudah itu kau akan dipikul pula
Dan bila kau diserahi sesuatu kekuasaan atas kaum
Ketahuilah satu saat kau akan diberhentikan juga)

source: http://gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=2&id=310

ta’aruf unik ^^

Desember 21, 2008 oleh muslimstory

Seorang ikhwan yang kuliah di semester akhir berazzam untuk menyempurnakan separuh dien-nya. Sebagaimana biasa, beliau pun menghubungi ustadnya dan memulai proses dari awal sampai akhirnya tiba saatnya untuk taaruf, yaitu dipertemukan dengan calonnya.

Tibalah hari dan jam yang telah ditentukan, dengan semangat seorang aktivis, beliau datang tepat waktu di sebuah tempat yang telah di janjikan ustad. Taaruf pun dimulai, sang akhi duduk disebelah murobby, sementara agak jauh di depannya sang akhwat di temani murobbiyahnya dengan posisi duduk menyamping menjauhi sudut pandangan si ikhwan.

Setelah sekian lama berlalu tak ada pembicaraan, sang murobby berbisik pelan pada mad’unya yang malu-malu ini,

“Gimana akhi, sudah lihat akhwatnya belum, sudah mantap apa belum?”

“Sudah Ustad, saya mantap sekali ustad, akhwatnya yang sebelah kiri itu khan?”

Murobbynya kaget, wajahnya berubah agak kemerahan.

“Eh..gimana antum! Yang itu istri ana!”

PROFESOR ATHEIS VS MAHASISWA RELIGIUS

Januari 24, 2009 oleh muslimstory

Perdebatan seru terjadi di kelas filsafat,membahas apakah Tuhan itu ada atau tidak.
Profesor mengajak para mahasiswa berpikir dengan logika:
“Adakah di antara kalian yang pernah mendengar Tuhan?”
Tak ada yang menjawab.
“Adakah di antara kalian yang pernah menyentuh Tuhan?”
Lagi-lagi tak ada jawaban
“Atau ada di antara kalian yang pernah melihat Nya?!”
Masih tak ada jawaban
“Kalau begitu Tuhan itu tak ada”
Seorang mahasiswa yang religius mengacungkan tangannya, meminta izin untuk bicara.
“Apakah ada yang pernah mendengar otak profesor?” tanyanya pada seisi kelas.
Suasana hening.
“Apakah ada yang pernah menyentuh otak profesor?”
Suasana tetap hening
“Apakah ada yang pernah melihat otak profesor?”
Karena tak ada yang menjawab maka mahasiswa itu kemudian menyimpulkan,”Kalau begitu, profesor memang tak punya otak!”